Minggu, 04 Januari 2015

Pengalaman beragama



Kali ini saya akan berbabgi pengalaman tentang pentingnya beragama, karena sampai sekarang kita masih sering menjumpai masyarakat yang tidak mementingkan agama mereka. Baik dari kalangan muda bahkan kalangan tua sekalipun. Padahal kita sudah diberikan hal kebebasan dalam beragama. Akan tetapi ditengah kebebasan dalam beragama, yang sudah ada..masih saja terdapat pelanggaran beragama Wahid Institute menilai wajah kebebasan beragama dan berkeyakinan di Indonesia semakin melemah. Pasalnya, berdasarkan catatat akhir tahun, Wahid Institute mencatat sepanjang 2012 terdapat 274 kasus pelanggaran kebebasan beragama di Tanah Air. Koordinator Program Wahid Institute Rumadi Ahmad, mengatakan bahwa pelanggaran terbanyak terjadi pada bulan Mei 2012, sebanyak 30 kasus. Bentuk pelanggaranya yaitu pembiaran atau kelalaian dari aparat (33 kasus), pelarangan rumah ibadah (26 kasus), pelarangan aktivitas keagamaan (18 kasus), kriminalisasi keyakinan (17 kasus), pemaksaan keyakinan (12 kasus) dan intimidasi (empat kasus). Sementara, Jawa Barat merupakan provinsi yang paling banyak melakukan kasus pelanggaran yaitu sebanyak 43 kasus, disusul dengan Aceh 22 kasus, Jawa Tengah dan Jawa Timur sebanyak 15 kasus. Dari banyaknya pelanggaran tersebut, pelaku pelanggaran kebebasan beragama paling banyak dilakukan oleh aparat kepolisian sebanyak 57 tindakan, diikuti oleh Satpol PP 34 tindakan, dan dari Pemkab/Pemkot dengan 32 tindakan.
Dari sekian banyak kasus pelanggaran HAM tentang kebebasan beragama di Indonesia ternyata negara dan pemerintah belum benar-benar bisa menegakkan pasal pasal yang ada di dalam UUD 1945. Mulai dari aparat kepolisian yang seharusnya mengayomi masyarakat malah menjadi pelanggar HAM terbanyak. Negara juga kurang tegas dalam menangani kasus kasus pelanggaran tesebut maka dari itu bukan semakin berkurang kasus yang terjadi tetapi malah semakin bertambanhnya kasus pelanggaran HAM tentang kebebasan beragama, bukan hanya tentang kebebasan beragama tapi masih banyak juga pasal lain yang masih sering dilanggar.
Bentuk HAM tersebut penting untuk dijamin perlindungan, pemajuan, penegakkan, dan pemenuhannya karena agama merupakan sebuah keyakinan yang dimana di dalam agama tersebut kita menemukan jati diri kita, disitu kita mengenal Tuhan, agama juga mencerminkan moral kita. Jika keteguhan hati kita dalam beragama baik maka orang akan memandang kita orang yang baik dan tentu kita akan dimudahkan dalam segala hal begitupun dengan sebaliknya. Kita juga sangat membutuhkan agama karena manusia adalah makhluk yang lemah dan memiliki keterbatasan.
Bimbingan terhadap rohani kita juga terletak didalam agama. Agama juga merupakan kontrol sosial kita di dalam kemasyarakatan jadi betapa pentingnya agama dalam kehidupan kita. Agama juga adalah cermin diri kita sendiri, seberapa jauhnya kita mengenal Tuhan dan kewajiban yang harus dijalankan dan larangan yang tidak bokeh dijalankan.
Sebagai seorang warga Indonesia tentunya kita tidak setuju melihat adanya pelanggaran pelanggaran kebebasan beragama, saya sebagai seorang pelajar mungkin akan mempelajari tentang seluk beluk permasalahan yang terjadi di Indonesia tentang pelanggaran beragama ataupun yang lainnya, tapi karena pelajar kewajibannya adalah belajar maka mungkin saya akan lebih mewujudkan keadilan tersebut di masa yang akan mendatang. Pemerintah juga harus lebih tegas dalam menangani masalah tersebut jika tidak oknum oknum yang melakukan pelanggaran malah semakin merajalela karena mungkin terpengaruh/dipengaruhi oknum lain.

Cerita pengalaman kemiskinan



Bercerita tentang kemisikinan, saya teringat dengan buku saya pernah baca. Buku itu berjudul Sepatu Dahlan, Kisah Kemiskinan yang Menginspirasi
Bagaimana orang memaknai kemiskinan yang tengah mereka alami? Tentunya sangat banyak cara. Ada yang karena miskin, kemudian meminta-minta di jalanan, tidak peduli, tua dan muda semuanya menengadahkan tangan meminta sedikti receh dari hati orang yang suka berderma.
Ada juga yang tidak mau membiarkan kemiskinan memiskinkan hatinya. Orang-orang seperti ini, miskin bukan karena kemiskinan itu sendiri, lebih kepada kesempatan yang tidak berpihak. Pada kasus inilah sepertinya Dahlan, tokoh dalam Sepatu Dahlan menjalani kemiskinannya.
Kita bisa membayangkan bagaimana seorang anak remaja dengan ibu yang sakit (kemudian meninggal) dan ayah yang hanya kerja serabutan menjalani hidupnya. Boleh dikatakan, inilah kemiskinan yang benar-benar miskin. Hampir-hampir tidak memiliki apa-apa, baju dan celana hanya satu, selain itu sarung, tanpa sandal dan sepatu. Namun apa yang bisa kita lihat dari tokoh Dahlan ini adalah semangat bahwa kemiskinan harus dijalani apa adanya, tiada ada waktu untuk mengeluh.
Seluruh kisah dalam Novel Sepatu Dahlan yang ditulis oleh Khrisna Pabichara ini merupakan inspirasi kisah nyata Menteri Negara BUMN, Dahlan Iskan. Membaca novel ini adalah membaca kisah Dahlan Iskan sewaktu kecil, hidup miskin di kampung yang jauh dari kota. Hidup bersama dengan banyak orang miskin lainnya sehingga tekanan kemiskinan tersebut bisa dibagi bersama.
Sosok Dahlan kecil yang digambarkan oleh penulis dalam novel itu bukanlah orang yang pasrah terhadap keadaannya. Dahlan kecil dalam novel itu adalah seorang pejuang, pejuang bagi masa depannya tak peduli jalan berliku.

Dahlan, bocah miskin asal Kebon Dalem, Jawa Timur, berpeluh untuk mewujudkan mimpinya, yang semula sangat sederhana untuk ukuran sebagian besar anak Indonesia saat ini, yaitu sepasang sepatu dan sepeda.

Tapi dia tidak menyerah. Dari Kebon Dalem, kampung yang dilukiskan sebagai hanya memiliki enam buah gubuk yang letaknya saling berjauhan, Dahlan tekun menyusun langkah hingga akhirnya kini tertambat di salah satu kursi Kabinet Indonesia Bersatu II sebagai Menteri BUMN.

Sebuah lompatan yang sangat mengagumkan jika merujuk pada novel "Sepatu Dahlan" yang menyebutkan bahwa nyaris seluruh lelaki dewasa di Kebon Dalem bekerja sebagai buruh atau kuli.

Walau, Dahlan kecil karena kondisi keluarganya yang berada di bawah garis kemiskinan juga terpaksa merasakan kerasnya hidup sebagai buruh. Setiap hari ia harus berjalan puluhan kilometer untuk bersekolah tanpa alas kaki.

Sepulang sekolah banyak pekerjaan yang harus dilakoninya demi sesuap tiwul, mulai dari nguli nyeset, nguli nandur (menjual tenaga di sawah), sampai melatih tim voli anak-anak pengusaha tebu.

Berkat kerja kerasnya, Dahlan berhasil mengumpulkan uang untuk membeli sepeda secara mencicil dan kemudian dia bahkan mampu membeli dua pasang sepatu untuk dirinya dan adiknya. Sekalipun semua itu baru dapat diwujudkannya ketika ia duduk di kelas tiga SMA (Aliyah). Suatu jalan yang panjang untuk sepasang sepatu. Sepasang sepatu yang kemudian lebih banyak ditenteng oleh Dahlan karena ia merasa sayang menggunakannya. Begitulah kurang lebih cerita singkat dari buku Sepatu Dahlan yang begitu inspiratif tentang kemiskinan.


Efek Urbanisasi



Urbanisasi adalah suatu proses berpindahan penduduk dari desa ke kota atau dapat pula dikatakan bahwa urbanisasi merupakan proses terjadinya masyarakat perkotaan. Tidak dapat dipungkiri bahwa memang urbanisasi ada disetiap harinya. Contoh terapannya dalam kehidupan sehari-hari adalah dalam wilayah kampus Universitas Gunadarma. Banyak mahasiswa yang dari luar daerah tetapi mengambil pendidikan di kota, khususnya kota Depok. Proses urbanisasipun boleh dikatakan terjadi di seluruh dunia, baik pada negara-negara yang sudah maju industrinya, maupun yang secara relatif belum memiliki indutri.
            Akibat-akibat negatif dari urbanisasi terutama dirasakan oleh negara yang agraris seperti Indonesia ini. Hal ini terutama disebabkan karena pada umumnya prouksi pertanian sangat rendah apabila dibandingkan dengan jumlah manusia ang dipergunakan dalam produksi tersebut dan boleh dikatakan bahwa faktor kebanyakn penduduk dalam suatu daerah “Over Population” merupakan gejala yang umum dinegara agaris ang secara ekonomis masih terbelakang.
Proses urbanisasi dapat terjadi dengan lambat maupun cepat, hal tersebut terganung daripada keadaan masyarakat yang bersangkutan. Proses terebut terjadi dengan menyangkut dua aspek, yaitu adalah pertumbuhannya masarakat desa menjai masyarakat kota dan bertambahny penduduk kota yang disebabkan oleh mengalirnya penduduk yang berasal dari desa-desa (pada umunya karena penduduk desa merasa tertarik oleh keadaan kota.
Adapun faktor penarik dari kota adalah sebagai berikut:
  1. Kesempatan kerja lebih banyak dibandingkan dengan di desa.
  2. Upah kerja tinggi.
  3. Tersedia beragam fasilitas kehidupan, seperti fasilitas pendidikan, kesehatan, transportasi, rekreasi, dan pusat-pusat perbelanjaan.
  4. Kota sebagai pusat pemerintahan, perdagangan, ilmu pengetahuan, dan teknologi.
  5. Terjadinya urbanisasi membawa dampak positil dan negatif, baik bagi desa yang ditinggalkan, maupun bagi kota yang dihuni.
II           Efek Urbanisasi
            Urbanisasi tentunya memiliki efek atau pengaruh terhadap masyarakat perkotaan maupun masyarakat desa. Efek positif atau negatif dari urbanisasi adalah sebagai berikut.
Efek positif urbanisasi bagi desa (daerah asal) sebagai berikut:
  1. Meningkatnya kesejahteraan penduduk melalui kiriman uang dan hasil pekerjaan di kota.
  2. Mendorong pembangunan desa karena penduduk telah mengetahui kemajuan dikota.
  3. Bagi desa yang padat penduduknya, urbanisasi dapat mengurangi jumlah penduduk.
  4. Mengurangi jumlah pengangguran di pedesaan.
Adapun efek negatif urbanisasi bagi desa sebagai berikut:
  1. Desa kekurangan tenaga kerja untuk mengolah pertanian.
  2. Perilaku yang tidak sesuai dengan norma setempat sering ditularkan dan kehidupan kota.
  3. Desa banyak kehilangan penduduk yang berkualitas.
Efek Urbanisasi bagi Kota terdiri dari dampak positif dan dampak negatif. Dampak positif urbanisasi bagi kota sebagai berikut.
  1. Kota dapat memenuhi kebutuhan akan tenaga kerja.
  2. Semakin banyaknya sumber daya manusia yang berkualitas.
Efek negatif urbanisasi bagi kota sebagai berikut.
  1. Timbulnya pengangguran.
  2. Munculnya tunawisma dan gubuk-gubuk liar di tengah-tengah kota.
  3. Meningkatnya kemacetan lalu lintas.

Kisah pelapisan sosial di Bali



Sekitar tahun 2003 silam, saya dan beberapa teman diundang ikut diskusi terbatas untuk membahas draf buku ini bersama penulisnya, Made Kembar Kerepun. Diskusi dengan teman-teman muda di Bali ini semacam pra-peluncuran buku. Saat itu, untuk pertama kali saya tahu tentang kesalahpahaman tentang kasta ini meski hanya sedikit.
Namun, setelah diskusi tersebut, saya tak pernah menemukan buku karya Kerepun ini. Meski sudah mencari ke beberapa toko, saya tak pernah menemukannya. Saya hanya memiliki versi draf dalam bentuk print out serupa skripsi yang masih saya simpan sama sekarang.
Karena itu, saya senang ketika akhirnya saya mendapatkan buku ini. Saya bisa membaca buku yang membedah tentang kasta di Bali ini.
Majapahitisasi
Dari judulnya saja, buku ini sudah amat jelas. Ada dua pesan utama yang saya tangkap dari judul tersebut. Pertama, penulisnya menganggap isu kasta serupa benang kusut. Sesuatu yang ruwet dan kompleks. Pesan kedua, penulis buku ini berusaha membongkar bagaimana sistem kasta itu coba dilestarikan di Bali.
Begitulah penulis buku ini, Made Kembar Kerepun, membahas isu kasta dalam buku terbitan Penerbit Panakom, Denpasar April 2007 ini. Made Kembar Kerepun, yang sudah almarhum, membedah isu kasta dalam 10 bab dan 308 halaman buku ini. Bab tersebut antara lain (1) Benang Kusut Nama dan Gelar Bangsawan di Bali, (2) Belanda Kembali Hidupkan Kasta, (3) Ketidakadilan Bangkitkan Perlawanan, (4) Kiat-kiat Pengajegan Kasta, dan (5) Ranjau-ranjau Bagi Triwangsa.
Saya sih tak hanya menangkap pesan “kegeraman” penulis terhadap masalah kasta tapi juga upayanya untuk membedah dan menjelaskan bahwa sistem kasta itu sebuah kesalahpahaman yang harus dibongkar.
Kesalahpahaman terbesar, menurut Kerepun, adalah anggapan bahwa kasta itu tradisi Bali sehingga harus dilestarikan. Menggunakan berbagai arsip sejarah, termasuk lontar zaman kerajaan Bali kuno sebelum Majapahit dan buku-buku pada zaman kolonial Belanda, Kerepun menunjukkan bahwa Bali dulunya tak mengenal kasta.
Rudolf Goris, antropolog yang banyak meneliti Bali, seperti dikutip Kerepun, menyatakan kasta di Bali mulai ada setelah Majapahit menguasai Bali sejak tahun 1343. Gelar-gelar baru diciptakan khusus untuk Bali karena tidak ada padanannya di Jawa. Karena itu, kasta adalah sekaligus Majapahitisasi.
Lucunya, Jawa sendiri justru tak mengenal sistem kasta. Saya sebagai orang Jawa (Timur) sama sekali tak pernah mendengar tentang kasta ini. Kalau ningrat sih ada, terutama di Jawa Mataraman, seperti Yogyakarta dan Solo, tapi itu bukan sistem kasta.
Kerepun memberikan bukti bahwa zaman Bali kuno tak mengenal sistem kasta. Pada zaman itu tidak ada gelar kebangsawanan bagi para Ksatria. Tak ada gelar, seperti Ida Bagus, I Gusti Ngurah, Cokorda dan semacamnya.
Raja Kresna Kepakisan dan keturunannya yang kemudian memulai menggunakan struktur adat dan sosial bernama kasta ini. Ide ini didukung tokoh-tokoh agama dari Jawa yang datang ke Bali, seperti Danghyang Nirarta dan Danghyang Astapaka. Mereka mempertahankan gelar untuk membedakan antara Bali Aga, yang dianggap sebagai orang Bali asli, dengan pelarian dari Majapahit yang kemudian jadi orang Bali kebanyakan seperti saat ini.
Saya pikir ini benar. Buktinya, beberapa desa Bali Aga, misalnya Tenganan Pegeringsingan di Karangasem dan Trunyan di Bangli, tidak mengenal sistem kasta. Struktur adat di dua desa ini egaliter. Tidak ada Brahmana, Ksatria, Wesia, dan Sudra.
Menurut Kerepun, Bali hanya mengenal Catur Warna. Kasta jika mengacu pada India adalah pembagian sistem sosial berdasarkan keturunan. Dalam sistem kasta, seseorang akan terlahir secara otomatis dalam kasta sesuai ayahnya. Acuannya nama dan keluarga. Adapun Catur Warna merupakan klasifikasi berdasarkan pekerjaan, bukan darah alias keturunan. Dinamis. Bisa saja namanya Ida Bagus, yang dianggap sebagai Brahmana, tapi bekerja sebagai pelayan, yang disebut Sudra. Sebaliknya, seorang dengan warna Ketut bisa saja jadi pemimpin agama (pemangku).
Istilah wangsa, bahasa lain dari kasta, dan warna sudah tidak cocok lagi di Bali. Cocoknya adalah soroh, warga, gotra, atau klan. Kalau soroh ini, antara lain, adalah Pande, Pasek, dan seterusnya.
Sistem kasta ini kemudian diperkuat pada zaman kolonial Belanda. Pemerintah kolonial ini membagi Bali menjadi delapan wilayah pemerintahan tahun 1929. Oleh penjajah Belanda, para raja dihawajibkan menggunakan gelar sekaligus nama yang diberikan Belanda. Misal, I Goesti Alit Ngoerah di Badung dan Dewa Agong Tjokorda Oka Geg Peonggawa di Klungkung.
Inilah yang disebut kebijakan Baliseering, semacam purifikasi Bali ala gerakan Ajeg Bali saat ini. Tujuan pelestarian kasta ini untuk mempertahankan kuasa oleh kolonial melalui tangan-tangan penguasa, terutama Brahmana dan Ksatria, dua tingkat tertinggi dalam kasta.

Kisah warga negara dan negara



Negara adalah tempat atau tanah tempat seseorang dilahirkan. Alangkah terpujinya jika kita mencintai Negara tempat yang sudah membesarkan kita ini. Kita tidak melupakan jasa pahlawan yang sudah bertumpah darah agar kita merasakan nikmatnya Negara kita yang berlimpah ini. Saya pernah menonton sebuah film dimana seseorang kakek memiliki sifat patrotisme yang amat tinggi. Film berjudul The First Grader ini diperankan oleh Naomie Harris yang berperan sebagai seorang kepala sekolah tingkat sekolah dasar di Kenya. Ia berperan sebagai Jane Obinchu istri dari seorang konsultan perusahaan terkenal Charles Obinchu.
Tokoh inti film ini Kimani Ng’ang’a Maruge (84) yang diperankan sangat apik oleh Oliver Litondo. Film yang disutradarai oleh Justin Chadwick ini bahkan memenangkan Durban International Film Festival Audience Award dan Doha Tribeca Film Festival Grand Prize.
Cerita ini menggambarkan sikap patriotisme seorang warga Kenya yang menginginkan Kenya merdeka dari Koloni Inggris. Maruge lahir pada tahun 1920 dan meninggal pada tahun 2009, ia merasakan penyiksaan di selama beberapa tahun.
Di Kenya pada tahun 1953 terjadi peningkatan kekerasan melawan Koloni Inggris. Ribuan korban terbunuh dan lebih dari jutaan Suku Kikuyu ditahan di kemah penahanan dan Maruge satu di antaranya menjadi korban kekerasan serta penahanan. Konflik ini akhirnya menuju kemerdekaan tapi kasus kekerasan kebanyakan tidak pernah terpecahkan.
Di tiap adegan semua penuh kejutan, seperti koki yang mampu meramu masakan yang lezat Justin Chadwick bisa membuat mata tak lepas dari layar. Adegan-adegan disusun dengan penuh perhitungan sehingga tidak membosankan.
Kisah berawal dari penyiar radio, layaknya seorang narator mengumumkan adanya pendidikan bagus semua orang. “Masyarakatku pemerintah mengumumkan pendidikan untuk semua orang, yang mereka inginkan adalah agar kalian bangkit,” ujarnya lantang dan penuh semangat.
Nama dan karakter Kimani Maruge dalam film produksi BBC ini diangkat dari kisah nyata. Bukan sekadar rekaan penulis skenario dan sutradaranya saja. Kimani Maruge meninggal dunia pada 15 Agustus 2009 dalam usia 90 tahun. Ia tercatat dalam Guinness World Record sebagai murid tertua yang pernah mengikuti pendidikan dasar. Berkat itu, PBB mengundangnya ke New York pada tahun 2005 untuk ikut menyuarakan gerakan pendidikan secara global .
Kimani Maruge menjadi seperti lilin kecil di kegelapan nasib sebangsanya di Kenya dan pasti di banyak tempat lain di dunia. Ia menjadi oase semangat di tanah bergurun tak berpengharapan. Ia menjadi suar ke mana orang menentukan derajat tujuannya. Bahwa seseorang harus berjuang untuk apa yang ia percayai sebagai haknya. Bahwa, seperti tagline film ini, tak pernah ada kata terlambat untuk bermimpi. Bahwa sebentuk penghargaan terhadap para pejuang yang telah bersusah payah mewujudkan kemerdekaan adalah dengan bersekolah, dengan belajar, karena ilmu adalah harta yang sangat bernilai.
Dan yang utama, belajar adalah sebuah kegembiraan, bukan beban, apalagi keterpaksaan.
Banyak pelajaran yang bisa petik dari film ini. The First Grader adalah inspirasi untuk kita semua. Pelajaran terbesar yang bisa kita ambil adalah "Tidak ada kata terlambat untuk meraih impianmu". Saat ini, Maruge telah meninggal dunia pada usia 90 tahun akibat kanker perut yang dideritanya. Kimani Maruge terdaftar dalam Guinness Book of World Records sebagai siswa sekolah dasar tertua di dunia yang bergabung di salah satu kelas Sekolah Dasar Kapkenduiywo di Eldoret pada usia 84 tahun.