Minggu, 04 Januari 2015

Pengalaman Kota vs Desa



Penduduk masyarakat perkotaan dengan masyarakat pedesaan amatlah berbeda. Masyarakat perkotaan dengan masyarakat pedesaan cenderung memiliki sifat aroganisme yang tinggi disbanding masyarakat pedesaan. Ya, selama ini, baik dalam berbagai karya fiksi maupun opini banyak orang, masyarakat desa telah menjadi figur ‘orang baik’ dengan karakter khas seperti sederhana, lugu, polos, ramah, jujur, suka gotong royong, tulus, nrimo, ya pokoknya orang desa itu so innocent, deh. Bahkan secara ilmiah, dalam ilmu sosiologi, orang desa juga digambarkan sedemikian itu. Talcot Parsons menggambarkan masyarakat desa sebagai masyarakat tradisional (Gemeinschaft) yang mempunyai ciri-ciri/ karakter sebagai berikut : afektifitas ada hubungannya dengan perasaan kasih sayang, cinta , kesetiaan dan kemesraan yang diwujudkan dengan perbuatan tolong menolong, menyatakan simpati terhadap musibah yang diderita orang lain, menolong tanpa pamrih, tidak suka menonjolkan diri, dan mementingkan kebersamaan.
Lalu berdasarkan pengalaman saya sendiri, memang iya, sih, saya sering menemukan karakter seperti itu dalam diri orang desa. Orang desa yang pernah saya temui banyak yang ramah, suka menolong dan lugu banget. Tapi beberapa tahun terakhir ini, saya menjumpai banyak orang desa dengan karakter-karakter yang tidak sama dengan yang sudah saya sebutkan tadi. Saya beberapa kali melihat orang desa kok nggak sesuci itu ternyata. Saya menemui banyak orang desa dengan karakter bertentangan dengan karakter khas orang desa dan itu mengecewakan. Karakter-karakter yang membuat saya kecewa bukan karakter yang tarafnya adalah manner atau sikap luar manusia, seperti keramahan, tapi sudah dalam taraf morailitas. Apa saja?
Pertama, masalah kejujuran. Kata sinetron, kata orang dan kata teori orang desa jujur-jujur kan? Let’s visit the Campaign or election of Village Chief. Buanyak praktek money politic disitu. Saya pernah dengar ada yang menyebutnya dengan istilah budaya wuwur, dimana calon Kepala Desa yang membagi-bagi uang pada warga untuk membeli suara mereka sudah menjadi tradisi dan rahasia umum. Sudah berkali-kali saya dengar yang kayak begituan. Terakhir, ketika main ke desa KKN saya, seorang wraga bercerita pada saya bahwa hampir semua warga barusan menerima ‘sangu’ sebelum nyoblos. Bahkan banyak yang menerima uang dari lebih dari satu calon. Desa. Sebuah tempat yang sejak dulu memiliki kesan dan keistimewaan tersendiri bagi orang-orang. Salah satu tema lukisan yang menjadi favorit sepanjang masa adalah lukisan pedesaan. Anak-anak diajari untuk tahu bahwa ada tempat yang sejuk, tentram, dan selalu dirindukan, salah satunya lewat lagu Desaku. Sementara entah kenapa tempat bernama kota tidak pernah dibuatkan lagu ‘Kotaku yang Kucinta’. Orang desa, atau sering banyak orang sebut wong ndeso, selalu dipercaya sebagai orang yang paling menentramkan, baik, dan innocent diantara berbagai lapisan masyarakat. Masihkah semua seperti itu?
adi  kehidupan bermasyarakat sudah  menjadi sebuah pendorong atau sumber untuk mencapai tujuan untuk berkehidupan yang harmonis, baik itu kehidupan didesa maupun diperkotaan. Tentunya itulah harapan kita bersama, tetapi fenomena apa yang kita saksikan sekarang ini, jauh sekali dari harapan dan tujuan pembangunan nasional negara ini dan adanya  kesenjangan sosial, yang "kaya makin kaya" dan yang "miskin tambah melarat" ,  serta mutu pendidikan yang semakin  rendah. Kurang nya aqidah dan akhlak seseorang dalam ekstensi moral seseorang. 

Seseorang yang berasal dari pedesaan dan datang ke perkotaan seorang tersebut akan berubah derastis dari kehidupan sebelumnya. Karen di perkotaan yang begitu bebas dan kurang adanya komunikasi yang baik. Sehingga masyarakat pedesaan yang akan kembali ke desanya akan merubah sangat drastis dan akan  mengurangi sikap dan sifat yang sebelumnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar