Penduduk masyarakat perkotaan dengan masyarakat
pedesaan amatlah berbeda. Masyarakat perkotaan dengan masyarakat pedesaan
cenderung memiliki sifat aroganisme yang tinggi disbanding masyarakat pedesaan.
Ya, selama
ini, baik dalam berbagai karya fiksi maupun opini banyak orang, masyarakat desa
telah menjadi figur ‘orang baik’ dengan karakter khas seperti sederhana, lugu,
polos, ramah, jujur, suka gotong royong, tulus, nrimo, ya pokoknya orang
desa itu so innocent, deh. Bahkan secara ilmiah, dalam ilmu
sosiologi, orang desa juga digambarkan sedemikian itu. Talcot Parsons
menggambarkan masyarakat desa sebagai masyarakat tradisional (Gemeinschaft)
yang mempunyai ciri-ciri/ karakter sebagai berikut : afektifitas ada
hubungannya dengan perasaan kasih sayang, cinta , kesetiaan dan kemesraan yang
diwujudkan dengan perbuatan tolong menolong, menyatakan simpati terhadap
musibah yang diderita orang lain, menolong tanpa pamrih, tidak suka menonjolkan
diri, dan mementingkan kebersamaan.
Lalu
berdasarkan pengalaman saya sendiri, memang iya, sih, saya sering
menemukan karakter seperti itu dalam diri orang desa. Orang desa yang pernah
saya temui banyak yang ramah, suka menolong dan lugu banget. Tapi beberapa
tahun terakhir ini, saya menjumpai banyak orang desa dengan karakter-karakter
yang tidak sama dengan yang sudah saya sebutkan tadi. Saya beberapa kali
melihat orang desa kok nggak sesuci itu ternyata. Saya menemui banyak
orang desa dengan karakter bertentangan dengan karakter khas orang desa dan itu
mengecewakan. Karakter-karakter yang membuat saya kecewa bukan karakter yang
tarafnya adalah manner atau sikap luar manusia, seperti keramahan, tapi
sudah dalam taraf morailitas. Apa saja?
Pertama,
masalah kejujuran. Kata sinetron, kata orang dan kata teori orang desa
jujur-jujur kan? Let’s visit the Campaign or election of Village Chief.
Buanyak praktek money politic disitu. Saya pernah dengar ada yang
menyebutnya dengan istilah budaya wuwur, dimana calon Kepala Desa yang
membagi-bagi uang pada warga untuk membeli suara mereka sudah menjadi tradisi
dan rahasia umum. Sudah berkali-kali saya dengar yang kayak begituan. Terakhir,
ketika main ke desa KKN saya, seorang wraga bercerita pada saya bahwa hampir
semua warga barusan menerima ‘sangu’ sebelum nyoblos. Bahkan banyak yang
menerima uang dari lebih dari satu calon. Desa. Sebuah
tempat yang sejak dulu memiliki kesan dan keistimewaan tersendiri bagi
orang-orang. Salah satu tema lukisan yang menjadi favorit sepanjang masa adalah
lukisan pedesaan. Anak-anak diajari untuk tahu bahwa ada tempat yang sejuk,
tentram, dan selalu dirindukan, salah satunya lewat lagu Desaku. Sementara
entah kenapa tempat bernama kota tidak pernah dibuatkan lagu ‘Kotaku yang
Kucinta’. Orang desa, atau sering banyak orang sebut wong ndeso, selalu dipercaya
sebagai orang yang paling menentramkan,
baik, dan innocent diantara berbagai lapisan
masyarakat. Masihkah semua seperti itu?
adi
kehidupan bermasyarakat sudah menjadi sebuah pendorong atau sumber untuk
mencapai tujuan untuk berkehidupan yang harmonis, baik itu kehidupan didesa
maupun diperkotaan. Tentunya itulah harapan kita bersama, tetapi fenomena apa
yang kita saksikan sekarang ini, jauh sekali dari harapan dan tujuan pembangunan
nasional negara ini dan adanya kesenjangan sosial, yang "kaya makin
kaya" dan yang "miskin tambah melarat" , serta mutu
pendidikan yang semakin rendah. Kurang nya aqidah dan akhlak seseorang
dalam ekstensi moral seseorang.
Seseorang
yang berasal dari pedesaan dan datang ke perkotaan seorang tersebut akan
berubah derastis dari kehidupan sebelumnya. Karen di perkotaan yang begitu
bebas dan kurang adanya komunikasi yang baik. Sehingga masyarakat pedesaan yang
akan kembali ke desanya akan merubah sangat drastis dan akan mengurangi
sikap dan sifat yang sebelumnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar