Minggu, 04 Januari 2015

Kisah pelapisan sosial di Bali



Sekitar tahun 2003 silam, saya dan beberapa teman diundang ikut diskusi terbatas untuk membahas draf buku ini bersama penulisnya, Made Kembar Kerepun. Diskusi dengan teman-teman muda di Bali ini semacam pra-peluncuran buku. Saat itu, untuk pertama kali saya tahu tentang kesalahpahaman tentang kasta ini meski hanya sedikit.
Namun, setelah diskusi tersebut, saya tak pernah menemukan buku karya Kerepun ini. Meski sudah mencari ke beberapa toko, saya tak pernah menemukannya. Saya hanya memiliki versi draf dalam bentuk print out serupa skripsi yang masih saya simpan sama sekarang.
Karena itu, saya senang ketika akhirnya saya mendapatkan buku ini. Saya bisa membaca buku yang membedah tentang kasta di Bali ini.
Majapahitisasi
Dari judulnya saja, buku ini sudah amat jelas. Ada dua pesan utama yang saya tangkap dari judul tersebut. Pertama, penulisnya menganggap isu kasta serupa benang kusut. Sesuatu yang ruwet dan kompleks. Pesan kedua, penulis buku ini berusaha membongkar bagaimana sistem kasta itu coba dilestarikan di Bali.
Begitulah penulis buku ini, Made Kembar Kerepun, membahas isu kasta dalam buku terbitan Penerbit Panakom, Denpasar April 2007 ini. Made Kembar Kerepun, yang sudah almarhum, membedah isu kasta dalam 10 bab dan 308 halaman buku ini. Bab tersebut antara lain (1) Benang Kusut Nama dan Gelar Bangsawan di Bali, (2) Belanda Kembali Hidupkan Kasta, (3) Ketidakadilan Bangkitkan Perlawanan, (4) Kiat-kiat Pengajegan Kasta, dan (5) Ranjau-ranjau Bagi Triwangsa.
Saya sih tak hanya menangkap pesan “kegeraman” penulis terhadap masalah kasta tapi juga upayanya untuk membedah dan menjelaskan bahwa sistem kasta itu sebuah kesalahpahaman yang harus dibongkar.
Kesalahpahaman terbesar, menurut Kerepun, adalah anggapan bahwa kasta itu tradisi Bali sehingga harus dilestarikan. Menggunakan berbagai arsip sejarah, termasuk lontar zaman kerajaan Bali kuno sebelum Majapahit dan buku-buku pada zaman kolonial Belanda, Kerepun menunjukkan bahwa Bali dulunya tak mengenal kasta.
Rudolf Goris, antropolog yang banyak meneliti Bali, seperti dikutip Kerepun, menyatakan kasta di Bali mulai ada setelah Majapahit menguasai Bali sejak tahun 1343. Gelar-gelar baru diciptakan khusus untuk Bali karena tidak ada padanannya di Jawa. Karena itu, kasta adalah sekaligus Majapahitisasi.
Lucunya, Jawa sendiri justru tak mengenal sistem kasta. Saya sebagai orang Jawa (Timur) sama sekali tak pernah mendengar tentang kasta ini. Kalau ningrat sih ada, terutama di Jawa Mataraman, seperti Yogyakarta dan Solo, tapi itu bukan sistem kasta.
Kerepun memberikan bukti bahwa zaman Bali kuno tak mengenal sistem kasta. Pada zaman itu tidak ada gelar kebangsawanan bagi para Ksatria. Tak ada gelar, seperti Ida Bagus, I Gusti Ngurah, Cokorda dan semacamnya.
Raja Kresna Kepakisan dan keturunannya yang kemudian memulai menggunakan struktur adat dan sosial bernama kasta ini. Ide ini didukung tokoh-tokoh agama dari Jawa yang datang ke Bali, seperti Danghyang Nirarta dan Danghyang Astapaka. Mereka mempertahankan gelar untuk membedakan antara Bali Aga, yang dianggap sebagai orang Bali asli, dengan pelarian dari Majapahit yang kemudian jadi orang Bali kebanyakan seperti saat ini.
Saya pikir ini benar. Buktinya, beberapa desa Bali Aga, misalnya Tenganan Pegeringsingan di Karangasem dan Trunyan di Bangli, tidak mengenal sistem kasta. Struktur adat di dua desa ini egaliter. Tidak ada Brahmana, Ksatria, Wesia, dan Sudra.
Menurut Kerepun, Bali hanya mengenal Catur Warna. Kasta jika mengacu pada India adalah pembagian sistem sosial berdasarkan keturunan. Dalam sistem kasta, seseorang akan terlahir secara otomatis dalam kasta sesuai ayahnya. Acuannya nama dan keluarga. Adapun Catur Warna merupakan klasifikasi berdasarkan pekerjaan, bukan darah alias keturunan. Dinamis. Bisa saja namanya Ida Bagus, yang dianggap sebagai Brahmana, tapi bekerja sebagai pelayan, yang disebut Sudra. Sebaliknya, seorang dengan warna Ketut bisa saja jadi pemimpin agama (pemangku).
Istilah wangsa, bahasa lain dari kasta, dan warna sudah tidak cocok lagi di Bali. Cocoknya adalah soroh, warga, gotra, atau klan. Kalau soroh ini, antara lain, adalah Pande, Pasek, dan seterusnya.
Sistem kasta ini kemudian diperkuat pada zaman kolonial Belanda. Pemerintah kolonial ini membagi Bali menjadi delapan wilayah pemerintahan tahun 1929. Oleh penjajah Belanda, para raja dihawajibkan menggunakan gelar sekaligus nama yang diberikan Belanda. Misal, I Goesti Alit Ngoerah di Badung dan Dewa Agong Tjokorda Oka Geg Peonggawa di Klungkung.
Inilah yang disebut kebijakan Baliseering, semacam purifikasi Bali ala gerakan Ajeg Bali saat ini. Tujuan pelestarian kasta ini untuk mempertahankan kuasa oleh kolonial melalui tangan-tangan penguasa, terutama Brahmana dan Ksatria, dua tingkat tertinggi dalam kasta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar